Rabu, 16 Januari 2008

Format Baru Otonomi Daerah

Oleh ANTONNY MECCA dan REFA RIANA

ERA pelaksanaan otonomi daerah kini memasuki tahapan baru setelah direvisinya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah atau lazim disebut UU Otonomi Daerah (Otda). Perubahan yang dilakukan di UU No. 32/2004 bisa dikatakan sangat mendasar dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Secara garis besar, perubahan yang paling tampak adalah terjadinya pergeseran-pergeseran kewenangan dari satu lembaga (pihak) ke lembaga (pihak) lain.

Meski pada tataran konsep, instrumen dan implementasi harus mengalami perubahan, saat akan dilakukan pembahasan, muncul pro dan kontra. Kelompok yang prorevisi UU Pemda meminta pemerintah untuk segera membahas tetapi kelompok yang kontra menilai bahwa UU No. 22/1999 telah aplikatif. Kelompok inilah yang memunculkan isu bahwa pemerintah akan melakukan resentralisasi dengan melakukan perubahan tersebut.

Dalam sebuah kesempatan, penulis sempat berbincang dengan Sekretaris Ditjen Otda, Ir. Triyuni Soemartono tentang "roh" dari UU No. 32/2004 ini, khususnya setelah adanya tudingan bahwa pemerintah akan melakukan resentralisasi kembali. Menurutnya, dalam UU tersebut kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tetap dilaksanakan dan tidak ada maksud untuk melakukan resentralisasi.

"Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat dengan masyarakat. Tujuan pemberian otonomi tetap seperti yang dirumuskan saat ini yaitu memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan,"ujar Tri.

Tri menambahkan, pemerintah juga tidak lupa untuk lebih meningkatkan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas penyelenggaraan fungsi-fungsi seperti pelayanan, pengembangan dan perlindungan terhadap masyarakat dalam ikatan NKRI. "Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan seperti desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, diselenggarakan secara proporsional sehingga saling menunjang," jelasnya.

**

BILA ditelaah pasal demi pasal, memang benar apa yang dikatakan Triyuni. Dalam UU No. 32/2004, digunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintah pusat yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, yustisi, dan agama. Meski demikian, bukan berarti pemerintah lepas tangan. Masing-masing tingkatan pemerintahan memiliki urusan sendiri-sendiri.

Pemerintah pusat berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional. Pemerintah provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternal regional, dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal.

Dalam UU No 22/1999, masalah ini tidak ada sama sekali. Ini disebabkan oleh dalam UU disebutkan bahwa Negara Indonesia terdiri atas daerah provinsi dan daerah kabupaten kota. Ini ditafsirkan adanya kesejajaran antara provinsi dan kota. Akibat lebih jauh, terjadilah pembangkangan bupati/walikota kepada gubernur dengan alasan tidak ada lagi hierarki pemerintahan. Kasus ini banyak terjadi.

Dalam amendemen UUD 1945, dilakukan perubahan mendasar. Dalam Pasal 18 UUD 1945 ayat (1) disebutkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-daerah Provinsi dan Daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan UU. Tampak nuansa dan rasa adanya hierarki dalam kalimat tersebut. Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah diakomodasi dalam bentuk urusan pemerintahan menyangkut pengaturan terhadap regional yang menjadi wilayah tugasnya.

Secara anatomis, urusan pemerintah dibagi dua yakni absolut yang merupakan urusan mutlak pemerintah pusat (hankam, moneter, yustisi, politik luar negeri, dan agama), serta Concurrent (urusan bersama pusat, provinsi dan kabupaten/kota). Urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, ada bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota.

Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara pemerintah pusat, daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antartingkat pemerintahan.

Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.

Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Kriteriaa akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut, kepada masyarakat akan lebih terjamin.

Kriteria efisiensi merupakan pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personel, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota dibandingkan apabila ditangani oleh pusat maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan itu lebih bermanfaat dilaksanakan untuk kepentingan banyak daerah atau setidak-tidaknya bersinggungan dengan banyak daerah, maka akan lebih baik bila dilakukan oleh pemerintah pusat.

Dengan demikian, sudah ada aturan yang jelas dalam pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemprov, dan pemkab/pemkot seperti tercantum pada pasal 10 s.d 14. Pola hubungan antara pemerintah-pemda dan antarpemerintahan daerah di bidang keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya alam pun diatur dalam pasal 15 s.d pasal 18.

Di sinilah letak berperannya provinsi dalam pelaksanaan urusan pemerintahan. Misalnya pemerintah memberikan otonomi untuk urusan pembuangan sampah. Kabupaten Bekasi menetapkan Bantar Gebang sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Di sisi lain, Kota Bekasi menetapkan Tambun sebagai TPA sampah. Sementara Karawang menetapkan wilayah lainnya. Atas dasar efisiensi, maka Provinsi Jawa Barat bisa memutuskan untuk menetapkan satu TPA bagi tiga daerah tersebut. (Pasal 195 s/d Pasal 198).

Dalam hal pelayanan umum, kabupaten dan kota tidak bisa membuat perda untuk menarik retribusi, misalnya Jeruk Medan, yang melintasi daerahnya. Bisa dibayangkan bila Jeruk Medan yang dijual petani seharga Rp 3.000,00/kg, saat di jual di Jakarta akan membengkak menjadi Rp 7.000,00/kg karena harus melewati beberapa provinsi dan kabupaten/kota. Padahal dalam ilmu pajak, sebuah komoditas tidak boleh menjadi objek pajak dua kali.

Dalam dua kasus ini, ada bagi hasil pajak yang dibagikan antara provinsi dan kabupaten/kota. Demikian juga dengan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggungjawab bersama atau pembiayaan bersama atas kerja sama antardaerah.

**

Salah satu masalah mendasar UU No. 22/1999 terlihat dari lemahnya pengawasan maupun check and balances. Kondisi inilah kemudian menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan ketidakseimbangan kekuasaan. Kedudukan kepala daerah seakan di bawah kontrol legislatif. UU No. 32/2004 mencoba mengembalikan hubungan kerja eksekutif dan legislatif yang setara dan bersifat kemitraan. Sebelum ini kewenangan DPRD sangat besar, baik ketika memilih kepala daerah, maupun LPJ tahunan kepala daerah. Kewenangan DPRD itu dalam penerapan di lapangan sulit dikontrol. Sedangkan sekarang, kewenangan DPRD banyak yang dipangkas, misalnya aturan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, DPRD yang hanya memperoleh laporan keterangan pertanggungjawaban, serta adanya mekanisme evaluasi gubernur terhadap Raperda APBD agar sesuai kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal tersebut akan mempersempit ruang gerak aktor-aktor di kabupaten/kota dalam bermain-main dengan keuangan daerah.

Mekanisme pengawasan kepada kepala daerah semakin diperketat, misalnya presiden tanpa melalui usulan DPRD dapat memberhentikan sementara terhadap kepala daerah yang didakwa melakukan tindak korupsi, terorisme, dan makar (Pasal 31). Sementara pengawasan terhadap DPRD semakin diperketat dengan adanya Badan Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan. Untuk melengkapinya DPRD wajib pula menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya. Dengan berbekal ketentuan yang baru, anggota DPRD bisa diganti sewaktu-waktu (PAW) bila melanggar larangan atau kode etik (Pasal 41 s.d Pasal 49).

Pembuatan fraksi di DPRD pun diatur dengan rinci. Setiap anggota DPRD harus berhimpun dalam fraksi. Jumlah anggota setiap fraksi sekurang-kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD. Jumlah komisi di DPRD pun diatur sesuai dengan jumlah anggota DPRD. Bagi anggota yang berasal dari parpol dan tidak bisa membentuk fraksi harus membentuk fraksi gabungan. Dalam usulan pengajuan calon pimpinan, hanya parpol yang bisa membentuk satu fraksi yang berhak mengajukan calonnya sedangkan fraksi gabungan tidak. Ini dimaksudkan untuk menciptakan keadilan bagi partai politik. (Pasal 50 s.d Pasal 51).

Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang persyaratan dan tata caranya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dicalonkan baik oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memperoleh sejumlah kursi tertentu dalam DPRD dan atau memperoleh dukungan suara dalam Pemilu Legislatif dalam jumlah tertentu.

Melalui undang-undang ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) provinsi, kabupaten, dan kota diberikan kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. KPUD yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah KPUD sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk itu, tidak perlu dibentuk dan ditetapkan KPUD dan keanggotaannya yang baru. Agar penyelengaraan pemilihan dapat berlangsung dengan baik, maka DPRD membentuk panitia pengawas. Kewenangan KPUD provinsi, kabupaten, dan kota dibatasi sampai dengan penetapan calon terpilih dengan Berita Acara yang selanjutnya KPUD menyerahkan kepada DPRD untuk diproses pengusulannya kepada Pemerintah guna mendapatkan pengesahan.

Di sinilah muncul protes karena pencantuman diktum KPUD bertanggungjawab pada DPRD telah diartikan bahwa KPUD tidak independen dan ini bertentangan dengan UU Pemilu yang menyebutkan KPU adalah lembaga independen. Para pemrotes biasanya berasal dari KPUD. Bahkan KPUD sudah meminta MA untuk melakukan judicial review atas UU No 32/2004 ini, khususnya tentang pasal pilkada (Pasal 56 s/d Pasal 74)

Terlepas dari adanya kontroversi ini, dalam UU No 32/2004 terlihat adanya semangat untuk melibatkan partisipasi publik. Di satu sisi, pelibatan publik (masyarakat) dalam pemerintahan atau politik lokal mengalami peningkatan luar biasa dengan diaturnya pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung. Dari anatomi tersebut, jelaslah bahwa revisi yang dilakukan terhadap UU No. 22/1999 dimaksudkan untuk menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang selama ini muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah. Sekilas UU No. 32 tahun 2004 masih menyisakan banyak kelemahan, tapi harus diakui pula banyak peluang dari UU tersebut untuk menciptakan good governance, paling tidak di tataran konseptual.***

Antonny Mecca (Directur Center for Autonomy and Local Government)

Refa Riana, wartawan HU Pikiran Rakyat.

dikutip dari :

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/03/teropong/utama01.htm

1 komentar:

dashinsachse mengatakan...

Stainless Steel Countertops with Black Finish - Tioga-arts
Stainless Steel Countertops with Black Finish. The micro touch titanium trimmer premium titanium rings metal countertops titanium dental implants and periodontics make for titanium nitride coating service near me perfect titanium mug balance of thickness and strength.