Kamis, 10 Juli 2008

Mengakhiri "Kekerasan" Atas Nama Mahasiswa ?

Akhir-akhir ini media massa, baik cetak maupun elektronik banyak menayangkan aksi demonstrasi yang disertai kekerasan terkait dengan kenaikan BBM. Parahnya aksi-aksi kekerasan yang ditampilkan media massa mengatasnamakan “mahasiswa” sebagai pelakunya. Walaupun memang aksi-aksi itu juga sebenarnya tidak hanya di ikuti “mahasiswa” tapi juga masyarakat umum lainnya. Aksi kenaikkan BBM sebenarnya sempat reda setelah banyak media massa yang menyorot kasus kekerasan AKBB vs FPI. Terlepas siapa yang terlebih dahulu melakukan aksi kekerasan tersebut, yang pasti adalah adegan demi adegan kekerasan yang dipertontonkan secara umum melalui media elektronik dan cetak, merekam alam bawah sadar kita untuk bertanya tentang citra bangsa kita yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang ramah menjadi bangsa yang berwatak “kekerasan”. Belum lagi jika kita berbicara kasus kekerasan STPDN dan STIP yang telah memakan korban jiwa.Kekerasan sebenarnya bisa saja muncul dalam berbagai bentuk. Kegiatan seperti ospek, TAMU, dan ritual lainnya yang biasa diadakan BEM (atau OSIS kalau di sekolah) ketika masa penerimaan mahasiswa/ anggota baru merupakan bentuk kekerasan yang tidak disadari. Kegiatan yang seharusnya bertujuan memperkenalkan sekolah dan program yang ada di kampus, malah melenceng menjadi ajang untuk mempemalukan para mahasiswa baru dengan kegiatan yang merendahkan dan mengintimidasi. Kita sendiri, sebagai mahasiswa yang pernah mengikuti kegiatan semacam itu dari SMP, SMA, hingga Kuliah tentu tidak memungkiri kekerasan yang dilakukan tersebut. Kekerasan yang mengatasnamakan nilai kedisiplinan, ketaatan, dan kekeluargaan, ternyata mungkin hanya menjadi ajang “balas dendam” para mahasiswa senior. Dari kegiatan-kegiatan semacam inilah kita diperkenalkan untuk berbuat “kekerasan” kepada siapapun karena kita mempunyai kekuasaan.

Kekerasan didefinisikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, Kekerasan sebenarnya dikelompokkan ke dalam 5 kategori:pertama, Kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain). Kedua, Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip). Ketiga, Perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya diertai oleh bullying fisik atau verbal). Keempat, Perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng). Kelima, Pelecehan seksual (kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal.

Kekerasan sendiri dalam hukum pidana merupakan perbuatan kejahatan. Kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara. Misalkan saja kekerasan dalam bentuk verbal yang dilakukan seorang “panitia” melakukan kata-kata yang dianggap menghina dan melecehkan kehormatan dengan maksud untuk diketahui umum diancam dengan penjara minimal 9 bulan. Hukum pidana kita sudah mengatur tegas kasus-kasus kekerasan semacam ini. Namun pelaku kekerasan yang “terorganisir” dalam acara tersebut diatas belum juga menyadari “dosa” kejahatan yang mereka lakukan.

Jika kita hubungkan kasus kekerasan yang “terorganisir” di kampus dengan aksi-aksi anarkis yang mengatasnamakan “mahasiswa”, tentunya mungkin tidak benar juga bila memang kampus menjadi pusat “pendidikan” para pelaku kriminal yang mengatasnamakan “rakyat”. Membutuhkan penelitian yang mendalam untuk mencari keterkaitan antara pendidikan “kekerasan” yang dilakukan di kampus, dengan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan mengatasnamakan “mahasiswa” dalam setiap demonstrasi. Para pelaku kekerasan berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal, jika dibandingkan dengan manusia yang tidak melakukan kekerasan. Sementara korban kekerasan yang tidak terima atas kekerasan yang menimpanya (walaupun tidak mengambil tindakan hukum) mungkin dalam hatinya berniat akan membalasnya kepada juniornya di tahun mendatang.

Ironi memang jika mahasiswa yang menuntut pendidikan tingkat tinggi di universitas mampu melakukan kekerasan. Filsafat Jawa mengandaikan dengan padi yang semakin merunduk jika berisi, yang berarti bahwa seseorang yang berpendidikan (berisi) semakin tahu diri tentang siapa dirinya. Lalu untuk apa menjadi “mahasiswa” jika kekerasan dijunjung, sementara budi disingkirkan. Apapun alasannya, kekerasan adalah tindakan yang akan merusak generasi penerus di Indonesia. “Kekerasan” dalam bentuk apapun, pada akhirnya menimbulkan kekerasan dalam bentuk lain. Sudah saatnya mengakhiri kekerasan dalam menyampaikan aspirasi. Dan berdialog (diskusi), membuat opini, dan wacana di media massa adalah “kekerasan” terbaik yang lebih mengedepankan “otak” dari pada “otot”. Mungkin sebagian orang menganggap lucu jika menyampaikan aspirasi hanya dengan berdialog tanpa disertai “kekerasan”. Tapi, setidaknya aksi tanpa “kekerasan” sedikit banyak mengembalikan “image” bangsa ramah yang hampir hilang.

Resensi :

Prof. Moeljatno, SH, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara, 2003.

Bullying” dalam Dunia Pendidikan (bagian 1), http://popsy.wordpress.com/2007/04/26/%E2%80%9Cbullying%E2%80%9D-dalam-dunia-pendidikan-bagian-1/

Awas! Bullying di Sekolah, http://www.detiknews.com/indexfr.php?url= http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/04/tgl/29/time/024012/idnews/773879/idkanal/10

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Sepakat???!!!

Anonim mengatakan...

kayaknya mahasiswa bukan lagi murni membela rakyat, tapi sudah ditunggangi oleh kelompok2 tertentu. wah....dimana eksistensi kita sebagai mahasiswa!!! mau dikemanakan bangsa ini, jangankan rakyat, mahasiswa, anggota dewan pun adu hantam...kalau sudah begitu,harapannya kita2 yang masih sadar yang mengingatkan.
Bangkitlah saudaraku,
Harapan itu masih